Masyarakat
boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum
tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam
undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang
tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha
yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ),
memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ),
pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen
dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan
obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak
menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha
periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai
resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering
dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain
yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku
tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku
tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian
dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut
secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8
tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi
seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan
klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar
menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan
yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral
supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya
sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan
ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini
dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda
paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu
atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar
terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah
melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen.
Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi
urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal
45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung
jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses
oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar