Senin, 30 April 2012

TUGAS 3


BBM Naik Di Tunda Hingga September

Waktu yang tepat untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi adalah September atau Oktober. Saat itu masa Lebaran telah usai dan mulai memasuki masa panen.
Direktur Statistik Harga Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, dua bulan tersebut merupakan waktu yang tepat karena laju inflasi diperkirakan akan rendah. ”September itu kansetelah Lebaran,konsumsi kita akan turun sehingga berkurang. Dan pada Oktober itu puncak masa panen kedua.
Kalau sebelum itu atau sesudah itu, dampak inflasinya akan besar,” katanya di Jakarta kemarin. Sasmito mengatakan, laju inflasi pada tahun kalender diperkirakan akan rendah apabila harga BBM bersubsidi naik pada September maupun Oktober. ”Tidak sampai 6,8% sesuai target pemerintah. Bisa di sekitar 6% plus minus, itu kalau terjadi kenaikan Rp1.500 per liter,”ungkapnya. Menurut dia, setiap harga BBM naik Rp500 per liter akan menyumbang inflasi sebesar 0,3%.Dengan demikian,apabila ada kenaikan Rp1.500 per liter,akan menyebabkan inflasi sekitar 0,9%.

”Inflasi bulan itu (September) palingkecilsekitar 0,6% atau 0,5%.Jadi kalau naik (BBM bersubsidi) pada September, inflasi berkisar antara 0,5–1,5%,”tuturnya. BPS memperkirakan harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan pada pertengahan 2012 karena dapat menyebabkan tekanan pada laju inflasi. ”Pada Juli terjadi liburan panjang, tahun ajaran baru, dan menjelang puasa sehingga diperkirakan inflasi tinggi. Jadi secara rasional BBM tidak akan naik pada pertengahan tahun,”lanjutnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengisyaratkan pemerintah bisa saja mengajukan APBN-P dua kali tahun ini.Namun, dia mengingatkan langkah ini hanya akan diambil bila semua langkah untuk menjaga kesehatan fiskal gagal. ”Istilahnya kita punya ruang untuk lakukan APBN-P lagi kalau memang situasi harus kita respons seperti itu,” ucap Agus Martowardojo pada konferensi pers mengenai APBN-P di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kemarin.

Selain mengisyaratkan ada APBN-P dua kali tahun ini,Agus Martowardojo juga mengemukakan anggaran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp17,088 triliun bisa direalokasikan ke pos cadangan risiko energi.”Kalau BBM tidak naik, kompensasi tidak dinaikkan. BLSM kalau tidak dipakai, bisa direalokasi ke tambahan cadangan risiko energi,”tuturnya. Di tempat yang sama, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan, pemerintah bisa menaikkan harga BBM pada Mei mendatang bila ICP pada April sebesar USD134,6 per barel.

”Tapi kalaupun kewenangannya sudah ada,kanbelum tentu pemerintah juga naik,”ucapnya. Di bagian lain,mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi penambahan ayat (6) a pada Pasal 7 RUU No 22/2011 tentang APBN-P 2012 ke Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin. Menurutnya, pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 UUD 1945.

Yusril merujuk pada penafsiran MK pada 2003 ketika uji materi Pasal 2 UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tidak membolehkan harga BBM diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang bersifat fluktuatif. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mempersilakan siapa saja yang ingin mengajukan uji materi RUU No 22/2011 tentang APBN-P 2012. ”Silakan saja,”ungkapnya.

Sementara itu SBY berpendapat, meski memiliki kewenangan untuk menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak sesuai UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kewenangan itu akan dipakai sebagai jalan terakhir.
”Pandangan saya menaikkan harga BBM adalah jalan terakhir jika tidak ada lagi yang lebih tepat,” kata SBY, saat memberikan keterangan pers di Istana Negara. 

Ia mengatakan otoritas dan kewenangan dalam melakukan penyesuaian harga BBM juga berlaku dibanyak negara. Menurutnya aturan 15 persen selama enam bulan dengan alasan dan pertimbangan yang cermat, bukan semaunya pemeirintah diberi kewenangan. 

Menurutnya, meskipun sejak Oktober 2011 harga BBM terus melonjak, pemerintah sampai sekarang belum menaikkan karena masih berupaya untuk mencari solusi lain.
Sesuai dengan pasal 7 ayat 6 A UU APBNP 2012, pemerintah diberikan wewenang  untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, namun saat ini belum bisa bisa dilakukan karena rata-rata Indonesia Crude Price belum mencapai 15 persen atau 120.75 dolar per barel.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan sesuai dengan pasal tersebut, penyesuaian harga BBM dapat diambil pemerintah jika harga ICP mencapai 15 persen dalam enam bulan terakhir. ICP tersebut dihitung mundur enam bulan sejak sudah harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, yakni mulai dari Oktober.

”Kalau sudah tercapai, kewenangan pemerintah ada untuk melakukan penyesuaian tapi pemerintah mengupayakan alternatif dulu. Pemerintah sudah mengajak semua kementerian dan lembaga untuk memotong anggarannya.Tapi kita tentu harus mewaspadai harga minyak dunia,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, semalam.

Kisaran ICP dalam enam bulan terakhir adalah sebagai berikut: Oktober 2011 Oktober 2011 109.25 dolar per barel, November US$112,94, Desember US$110,70, Januari 2012 US$115,90, Februari US$122,17 dan terakhir Maret sebesar US$128.

Harga ICP tersebut dibagi dengan asumsi harga minyak yang ditentukan dalam UU APBNP 2012 yang sebesar 105 dolar per barel. Berdasarkan perhitungan rata-rata ICP baru mencapai 11 persen.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan perhitungan ini untuk memenuhi syarat dalam pasal 7 ayat 6A tersebut. Harga ICP dihitung sejak enam bulan ke belakang.

"Dengan demikian mulai masuk bulan April, harga ICP Oktober 2011 hilang dari perhitungan rata-rata. Begitu terus perhitungannya," ujarnya.
Namun, ia menambahkan meskipun harga rata-rata sudah mencapai syarat, pemerintah tidak langsung otomatis menaikkan harga BBM meskipun diberikan kewenangan.

Seperti diketahui amandemen pasal 7 mendapatkan tambahan satu ayat dalam UU APBNP 2012 yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI Sabtu dini hari.
Agus menambahkan saat ini subsidi pemerintah untuk BBM menjadi Rp137 triliun, meningkat dari subsidi sebelumnya Rp123 triliun. Meskipun naik, hal ini tidak akan memberatkan anggaran karena pemerintah sudah meningkatkan asumsi harga minyak dari US$90 per barel menjadi US$105 per barel.

Sumber : Tribunnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar