Senin, 30 April 2012

TUGAS 3


BBM Naik Di Tunda Hingga September

Waktu yang tepat untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi adalah September atau Oktober. Saat itu masa Lebaran telah usai dan mulai memasuki masa panen.
Direktur Statistik Harga Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, dua bulan tersebut merupakan waktu yang tepat karena laju inflasi diperkirakan akan rendah. ”September itu kansetelah Lebaran,konsumsi kita akan turun sehingga berkurang. Dan pada Oktober itu puncak masa panen kedua.
Kalau sebelum itu atau sesudah itu, dampak inflasinya akan besar,” katanya di Jakarta kemarin. Sasmito mengatakan, laju inflasi pada tahun kalender diperkirakan akan rendah apabila harga BBM bersubsidi naik pada September maupun Oktober. ”Tidak sampai 6,8% sesuai target pemerintah. Bisa di sekitar 6% plus minus, itu kalau terjadi kenaikan Rp1.500 per liter,”ungkapnya. Menurut dia, setiap harga BBM naik Rp500 per liter akan menyumbang inflasi sebesar 0,3%.Dengan demikian,apabila ada kenaikan Rp1.500 per liter,akan menyebabkan inflasi sekitar 0,9%.

”Inflasi bulan itu (September) palingkecilsekitar 0,6% atau 0,5%.Jadi kalau naik (BBM bersubsidi) pada September, inflasi berkisar antara 0,5–1,5%,”tuturnya. BPS memperkirakan harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan pada pertengahan 2012 karena dapat menyebabkan tekanan pada laju inflasi. ”Pada Juli terjadi liburan panjang, tahun ajaran baru, dan menjelang puasa sehingga diperkirakan inflasi tinggi. Jadi secara rasional BBM tidak akan naik pada pertengahan tahun,”lanjutnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengisyaratkan pemerintah bisa saja mengajukan APBN-P dua kali tahun ini.Namun, dia mengingatkan langkah ini hanya akan diambil bila semua langkah untuk menjaga kesehatan fiskal gagal. ”Istilahnya kita punya ruang untuk lakukan APBN-P lagi kalau memang situasi harus kita respons seperti itu,” ucap Agus Martowardojo pada konferensi pers mengenai APBN-P di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kemarin.

Selain mengisyaratkan ada APBN-P dua kali tahun ini,Agus Martowardojo juga mengemukakan anggaran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp17,088 triliun bisa direalokasikan ke pos cadangan risiko energi.”Kalau BBM tidak naik, kompensasi tidak dinaikkan. BLSM kalau tidak dipakai, bisa direalokasi ke tambahan cadangan risiko energi,”tuturnya. Di tempat yang sama, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan, pemerintah bisa menaikkan harga BBM pada Mei mendatang bila ICP pada April sebesar USD134,6 per barel.

”Tapi kalaupun kewenangannya sudah ada,kanbelum tentu pemerintah juga naik,”ucapnya. Di bagian lain,mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi penambahan ayat (6) a pada Pasal 7 RUU No 22/2011 tentang APBN-P 2012 ke Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin. Menurutnya, pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 UUD 1945.

Yusril merujuk pada penafsiran MK pada 2003 ketika uji materi Pasal 2 UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tidak membolehkan harga BBM diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang bersifat fluktuatif. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mempersilakan siapa saja yang ingin mengajukan uji materi RUU No 22/2011 tentang APBN-P 2012. ”Silakan saja,”ungkapnya.

Sementara itu SBY berpendapat, meski memiliki kewenangan untuk menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak sesuai UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kewenangan itu akan dipakai sebagai jalan terakhir.
”Pandangan saya menaikkan harga BBM adalah jalan terakhir jika tidak ada lagi yang lebih tepat,” kata SBY, saat memberikan keterangan pers di Istana Negara. 

Ia mengatakan otoritas dan kewenangan dalam melakukan penyesuaian harga BBM juga berlaku dibanyak negara. Menurutnya aturan 15 persen selama enam bulan dengan alasan dan pertimbangan yang cermat, bukan semaunya pemeirintah diberi kewenangan. 

Menurutnya, meskipun sejak Oktober 2011 harga BBM terus melonjak, pemerintah sampai sekarang belum menaikkan karena masih berupaya untuk mencari solusi lain.
Sesuai dengan pasal 7 ayat 6 A UU APBNP 2012, pemerintah diberikan wewenang  untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, namun saat ini belum bisa bisa dilakukan karena rata-rata Indonesia Crude Price belum mencapai 15 persen atau 120.75 dolar per barel.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan sesuai dengan pasal tersebut, penyesuaian harga BBM dapat diambil pemerintah jika harga ICP mencapai 15 persen dalam enam bulan terakhir. ICP tersebut dihitung mundur enam bulan sejak sudah harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, yakni mulai dari Oktober.

”Kalau sudah tercapai, kewenangan pemerintah ada untuk melakukan penyesuaian tapi pemerintah mengupayakan alternatif dulu. Pemerintah sudah mengajak semua kementerian dan lembaga untuk memotong anggarannya.Tapi kita tentu harus mewaspadai harga minyak dunia,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, semalam.

Kisaran ICP dalam enam bulan terakhir adalah sebagai berikut: Oktober 2011 Oktober 2011 109.25 dolar per barel, November US$112,94, Desember US$110,70, Januari 2012 US$115,90, Februari US$122,17 dan terakhir Maret sebesar US$128.

Harga ICP tersebut dibagi dengan asumsi harga minyak yang ditentukan dalam UU APBNP 2012 yang sebesar 105 dolar per barel. Berdasarkan perhitungan rata-rata ICP baru mencapai 11 persen.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan perhitungan ini untuk memenuhi syarat dalam pasal 7 ayat 6A tersebut. Harga ICP dihitung sejak enam bulan ke belakang.

"Dengan demikian mulai masuk bulan April, harga ICP Oktober 2011 hilang dari perhitungan rata-rata. Begitu terus perhitungannya," ujarnya.
Namun, ia menambahkan meskipun harga rata-rata sudah mencapai syarat, pemerintah tidak langsung otomatis menaikkan harga BBM meskipun diberikan kewenangan.

Seperti diketahui amandemen pasal 7 mendapatkan tambahan satu ayat dalam UU APBNP 2012 yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI Sabtu dini hari.
Agus menambahkan saat ini subsidi pemerintah untuk BBM menjadi Rp137 triliun, meningkat dari subsidi sebelumnya Rp123 triliun. Meskipun naik, hal ini tidak akan memberatkan anggaran karena pemerintah sudah meningkatkan asumsi harga minyak dari US$90 per barel menjadi US$105 per barel.

Sumber : Tribunnews

Sabtu, 07 April 2012

TULISAN 1


KATA PENGANTAR

                Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa kami telah menyelesaikan tulisan mata kuliah pelajaran softkill perekonomian indonesia dengan membahas perekonomian indonesia sebelum masa orde baru.

                Sebenarnya masa sebelum orde baru masuk pada masa orde lama maka dari itu kami juga akan membahas masalah perekomomian indonesia pada masa orde lama.
Dalam penyusunan tulisan ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
Dosen pembimbing kami ibu S. Tiwi anggraeni bidang pelajaran softkill universitas gunadarma yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas ini dan Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada masa sebelum orde baru ini berjalan sekitar tanggal 5 Juli 1959 hingga 1 Maret 1966.
Selama pelaksanaan pada masa ini demokrasi terpimpin kecenderungan semua keputusan hanya ada pada Pemimpin Besar Revolusi Ir. Sukarno. Hal ini mengakibatkan rusaknya tatanan kekuasaan negara, misalnya DPR dapat dibubarkan, Ketua MA, MPRS menjadi Menko pemimpin partai banyak yang ditangkapi dan rusaknya perekonomian indonesia.


PEMBAHASAN

                 Perekonomian indonesia di era sebelum orde baru

Keadaan ekonomi keuangan pada masa sebelum orde baru ini amat buruk, antara lain disebabkan oleh :

A.    Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
B.     Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
C.     Kas negara kosong.
D.    Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain:
A.    Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

B.     Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

C.     Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.

D.    Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

E.     Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

              Selain itu laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi di sector pertanian dan sector industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.

Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.

              Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa Kabinet Natsir (cabinet pertama dalam Negara kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh cabinet berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan system kurs berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ami I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan system ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
Berbeda dengan cabinet-kabinet sebelumya di atas, pada masa Kabinet Ali I, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960. Kurang aktifnya cabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaa politik di dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam negeri semakin membesar pada masa Kabinet Djuanda, sehingga praktis cabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi.
Perhatian sepenuhnya dialihkan selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga pada upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa Kabinet Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
 

Dilihat dari aspek politiknya selama Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami system politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa system politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu cabinet pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi tu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap cabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah social dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya.

                Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sector formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal / tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relative lebih padat capital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang boleh Boeke (1954) disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi nonlocal.

Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada decade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal periode ‘Ekonomi Terpimpin’. System politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, khususnya setelah ‘Ekonomi Terpimpin’ dicangangkan, semakin dekat dengan haluan / pemikiran sosialis / komunis.

         Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila, pengaruh ideology komunis dan Negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimprelisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualism, persaingan bebas, dan perusahaan swasta / pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dari Negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.

                 Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemrintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan factor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957), sejak cabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industry, unifikasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan factor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politi yang drastic di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi yang dianutu Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke system kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menganut suatu system yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideology Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak system kapitalis, seperti di Amerika Serikat (AS) atau Negara-negara industry maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi.

               Inflasi di Indonesia tinggi sekali pada masa sebelum orde bary di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5% setahun. Bank Indonesia sekarang punya sasaran untuk menekan angka inflasi ini. Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3% setahun. Untuk tahun 2005 sasaran BI adalah 6% plus-minus 1%, untuk tahun 2006 5,5% plus-minus 1% dan untuk tahun 2007 5% plus-minus 1%. Maka yang menjadi tarohan adalah inflasi tahun 2005 ini yang dibayangi oleh kenaikan harga BBM. Menurut LPEM-FEUI akan ada tambahan inflasi sekitar 1%, tetapi ada pakar ekonomi lainnya yang memperkirakan 3%, bahkan pakar BPS memasang angka 12%. Pengalaman sejarah menujukkan pengaruh kenaikan harga BBM kepada inflasi dalam kisaran 1-2% setahun.

                Pengendalian inflasi masih menghadapi resiko intern dan ekstern yang cukup besar. Dari dalam negeri ada pengaruh politik untuk mengucurkan dana perbankan yang lebih besar ke sektor riil, terutama ke sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dengan suku bunga yang rendah. BI juga tidak dapat mengendalikan perkembangan M-zero secara sempurna, karena perbankan komersial harus melayani keperluan uang para nasabanya, yang bisa dipengaruhi oleh inflationary expectations. Resiko dari sektor ekstern timbul kalau harga minyak bumi masih terus naik, atau nilai rupiah mengalami depresiasi. Belakangan ini bahkan beberapa komoditi pertanian, seperti beras dan gula, mengalami kenaikan harga internasional, yang semuanya akan menjadi imported inflation bagi Indonesia.
Krisis perekonomian indonesia pada masa orde lama ini juga berpengaruh pada perkembangan pembangunan yang ada di indonesia.
Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967, pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional:
TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara  TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Dengan dasar perencanaan tersebut membuka peluang dalam melakukan pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak baru dalam mencipatakan iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan sejahtera. Proses mengrehablitasi dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS ini diutamakan dalam melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong pembangunan nasional yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca penjajahan Belanda.

Pada tahun 1947 Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali dengan lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947 ini masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu itu (meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial). Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud. Apalagi jika tidak diperkuat oleh Undang-Undang yang baku pada masa itu.
Sekitar tahun 1960 sampai 1965 proses sistem perencanaan pembangunan mulai tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan untuk memperbaiki kesejahtraan rakyat.

Puncaknya, Pada masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram. Persediaan beras menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengimpor beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang membubung tinggi, yang tercermin dari laju inflasi yang samapai 650 persen ditahun 1966. keadaan plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak sehingga proses pembangunan Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya muncul gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soekarno.
Selama masa ini di bagi menjadi 2 masa yakni masa demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin, di dalam ke dua masa ini, masa sebelum orde baru sangat bersangkutan dengan kedua masa ini.

- Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

A)    Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.

B)    Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.

C)    Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulas.

D)    Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

E)     Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.



- Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme).
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :

A)    Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.

B)    Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.

C)    Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.


Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.


               Pada masa orde lama Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank sentral masih berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak ekslusif untuk mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk memelihara stabilitas nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan dari pengambilan keputusan politik.
Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai meramba ke proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli.
Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk. Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa. Perekonomian juga diperparah dengan terjadinya hiperinflasi yang mencapai 650%. Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai dekat dengan negara-negara komunis.
Selama periode 1950-an , struktur ekonomi Indonesia masih merupakan peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/modern seperti pertambangan , distribusi , transportasi , bank , dan pertanian komersil yang memiliki konstribusi lebih besar dari pada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau PDB yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor.

            Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relatif lebih padat capital , dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing yang berlokasi di kota-kota besar seperti : Jakarta dan Surabaya.
Boeke(1954) menyebutkan istilah struktur ekonomi seperti yang digambarkan diatas sebagai dual societies, yaitu salah satu karakteristik utama dari negara-negara berkembang yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme dalam suatu ekonomi dapat terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintahan yang bekuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang non-pribumi atau non-lokal.
Keadaan ekonomi Indonesia terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda. Ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, serta tingkat efisiensi yang tinggi disektor pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil (Alien dan Donnithorne, 1957).


Selain kondisi politik didalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan (1957a,b), sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintahan Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industry, unifikasi, dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Buruknya kondisi perekonomian bisa dibaca dibuku karya Radius Prawiro berjudul “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi”, yang dibahas oleh Gero (2010). Buku ini berisi tentang pengalaman pribadi Bapak Radius sewaktu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia ( waktu itu disebut Bank Sentral) untuk periode 1966-1973. Didalam buku tersebut dijelaskan, bahwa inflasi pada tahun 1966 mencapai 650 persen, rupiah terus dicetak, sementara produksi berbagai produk terus merosot. Radius menulis, seperti yang bisa dikutip dari Gero (2010:21), kebijakan “berdikari” alias berdiri atas kaki sendiri yang dikampanyekan Presiden Soekarno membuat semua impor produk pangan dan barang distop. Impor beras dilarang pada Agustus 1964, membuat kondisi persediaan pangan nasional yang sudah sulit semakin pelik. Cadangan devisa dan emas terus menipis dari 408,9 juta dollar AS (1960-1965) menjadi minus 4,5 juta dolar AS. 
Pendapatan perkapita dari 107 juta rakyat Indonesia, saat itu hanya 60 dolar AS. Kurs rupiah merosot dari Rp 186,67 per dolar AS (tahun 1961) menjadi Rp 14.083 per dolar AS (tahun 1965). Defisit anggaran diatas 140 persen.

Pada akhir September 1965 ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri , yang selanjutnya juga merubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde Lama , yaitu dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-Undang 1945 pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi Pancasila. Akan tetapi , dalam praktik sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini pola perekonomian nasional cenderung memihak sistem kapitalis seperti di Amerika Serikat (AS) atau negara-negara industri maju lainnya , yang Karena pelaksanaannya tidak baik mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa saat ini semakin besar pertama setelah krisis ekonomi.

Jadi, Yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan “warisan” dari negara penjajah, melainkan orientasi politik, system ekonomi, serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintahan yang berkuasa setelah lenyapnya kolonialisasi, terutama pada tahun-tehun pertama setelah merdeka karena tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat kritis yang sangat menentukan pembangunan selanjutnya.

Pengalaman Indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada jaman pemerintahan orde lama, rezim yang berkuasa menerapkan system ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuatan militer daripada kekuatan ekonomi. Ini semua menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi, pembangunan praktis tidak ada.
Setelah merdeka, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi. Defisit neraca saldo pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar, kegiatan produksi di sector pertanian dan industri manufaktur praktis terhenti, tingkat inflasi sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 500 % menjelang akhir periode orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai factor, di antaranya:

1. pendudukan Jepang
2. Perang Dunia II
3. perang revolusi
4. manajemen ekonomi yang buruk
5. ketidakstabilan kehidupan poitik
6. seringnya pergantian kabinet
7. keterbatasan factor produksi
       
       Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonialisasi. 
Pada umumnya kegiatan ekonomi yang masih dikuasai pengusaha asing tersebut lebih padat kapital dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi pengusaha pribumi.
Struktur ekonomi seperti itu disebut Dual Societes oleh Boeke (1954), yang merupakan salah satu karakteristik utama dari negara-negara sedang berkembang, yang merupakan warisan kolonianisasi. Dualisme di dalam struktur ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung seperti mengeluarkan peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang non pribumi.


Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (dan asing lainnya) yang dilakukan pada 1957 dan 1958 adalah awal dari periode “ekonomi terpimpin”. System politik dan ekonomi pada masa orde lama, khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan, semakin dekat dengan pemikiran sosialis-komunis. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya, memilih pemikiran politik berbau komunis hanya merupakan refleksi dari perasaan anti kolonialisasi, anti imperealisasi dan anti kapitalisasi pada masa itu. Di Indonesia pada masa itu prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan swasta/asing sangat ditentang oleh pemerintah dan masyarakat umumnya prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme.



PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Keadaan perekonomian indonesia pada masa sebelum orde baru sangat buruk.
Inflasi yang sangat tinggi, kas negara kosong dan Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan yang itu lah beberapa sebab yang menyebabkan perekonomian di indonesia menjadi sangat buruk. Serta buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan sebelum orde baru atau bisa disebut Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat buruk selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.pustakasekolah.com/sejarah-orde-lama-demokrasi-terpimpin.html
http://ekonomikro.blogspot.com : Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde Lama
http://www.oocities.org/hri_d/MataKuliah/PI.html
http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artikel_prof_m._sadli/pertumbuhan_ekonomi